Kiai Abbas Buntet Adalah Santri Keliling
Pesantren dulu berbeda dengan pesantren sekarang, dulu pesantren lebih bersifat spesialis, atau dapat dikatakan pesantren dahulu hanya mengajarkan fan keilmuan tertentu, sehingga banyak santri yang tidak hanya mesantren pada satu pesantren saja melainkan pada banyak pesantren, hal demikian dimaksud agar semakin banyak fan ilmu yang di kuasainya, sehingga muncul istilah santri kelana untuk menyebut santri yang mesantren pada beberapa pondok pesantren yang berbeda-beda.
Seiring berjalannya waktu kemudian pesantren merubah sistemnya, sehingga menjadi sistem klasikal dan dengan kurikulum yang ketat serta tidak hanya mengajarkan satu fan ilmu saja, sehingga dalam pengajarannya tidak mungkin dapat ditangani sendiri oleh kiainya, oleh sebab itu maka kiai hanya mengajar beberapa kitab dan hanya pada waktu-waktu tertentu saja dalam sepekan, selebihnya diajar oleh asaatidz (para ustadz). Setelah berubah menjadi seperti itu kemudian munculah istilah alumni, karena biasanya kebanyakan santri hanya mesantren pada satu pondok pesantren saja. Berbeda dengan dahulu kebanyakan santri itu mesantren berpindah-pindah, setelah selesai mengaji maka santri akan diperintahkan untuk mencari tambahan ilmu ke pesantren lain, sehingga jadilah mereka santri keliling atau dalam Bahasa lain disebut sebagai wandering santris.
Santri lelana, merupakan istilah yang biasa di pakai oleh para sejarawan dalam menyebut santri yang bepergian berpindah pesantren. Kaitannya dengan penjajahan santri inilah yang pernah menjadi mediator antar pesantren untuk melawan penjajah, dan kebanyakan pesanten juga menjadi basis perlawanan yang ditakuti oleh penjajah. Dan pada masa tersebut informasi-informasi dapat menyebar dari tempat ke tempat lain, dari pesantren ke pesantren lain itu tidak lain karena jasa dari para santri keliling serta bahkan mereka juga mampu dan berani untuk memimpin perlawanan.
Kiai Abbas Buntet atau lengkapnya Kiai Abbas bin Kiai Abdul Jamil. Beliau lahir pada Jum’at 24 Dzulhijjah 1300 H (1879 M) di Pekalangan, Cirebon, Jawa Barat. Riwayat pendidikan beliau berawal dari belajar kepada ayahnya yaitu Kiai Abdul Jamil, Kiai Abbas patut disebut sebagai santri lelana yang tulen, setelah merasa cukup mempelajari ilmu agama dan ilmu kanuragan tentunya, beliau pindah ke pesantren Sukasari, Plered, Cirebon yang diasuh oleh Kiai Nasuha, setelah itu pindah lagi ke pondok pesantren di daerah Sukasari Jawa Barat dibawah bimbingan Kiai Hasan.
Setelah itu, Kiai Abbas pindah lagi ke pesantren di daerah Jawa Tengah, tepatnya di Tegal, pesantren tersebut diasuh oleh Kiai Ubaidah. Lalu beliau melanjutkan belajarnya lagi di pondok pesantren Tebuireng, Jombang, yang waktu itu merupakan pondok pesantren yang terkenal yang diasuh oleh Kiai Hasyim Asy’ari. Ditempat tersebutlah beliau bertemu dengan rekan-rekannya, sesame santri keliling yang progresif, diantaranya Kiai Wahab Chasbullah yang sekarang kita kenal sebagai tokoh yang sangat penting dalam didalam pembentukan organisasi kaum santri, yaitu Nahdlatul Ulama (NU).
Belum puas dengan hanya mesantren di Pondok Pesantran asuhan Kiai Hasyim Asy’ari kemudaian beliau berangkat untuk memperdalam ilmunya ke Saudi Arabia atau yang dulu dikenal dengan Tanah Hejaz. Di tanah Hejaz beliau sempat belajar dengan Kiai Machfudz Termas Pacitan Jawa Timur yang merupakan ulama asli Nusantara yang sangat terkenal disana, disana beliau juga bertemu lagi dengan banyak santri keliling selain Kiai Wahab Chasbullah, diantaranya beliau bertemu dengan Kiai Bakir dari Yogyakarta dan juga Kiai Abdillah dari Surabaya.
Dalam mengusir penjajah Inggris dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, Kiai Abbaslah yang menjadi garda terdepan. Setelah Resolusi Jihad atau seruan untuk mengusir penjajah yang ingin menginjak kembali bumi pertiwi dikeluarkan oleh Kiai Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober, para Kiai dan ribuan Santri langsung bergerak menuju Surabaya. Bung Tomo yang merupakan murid dari Kiai Hasyim Asy’ari juga ikut berperan sebagai orator utama yang selalu berkomunikasi aktif.
Sebelum seorang pendekar yang disegani asal Cirebon datang yaitu Kiai Abbas, Kiai Wahab Chasbullah yang saat itu memimpin pasukan Kiai dan Ssantri yang bernama Sabilillah dan Hizbullah tidak akan mengizinkan untuk melakukan serangan. Kiai Abbas kemudian datang bersama rombongan dan langsung bergabung dalam barisan perang. Kiai Abbas dikenal sebagai orang yang sakti dan paling berjasa dalam meledakan pasukan tempur Inggris yang jumlah dan senjatannya tidak sebanding dengan para pasukan kemerdekaan pada saat itu.
Dalam sejarah tersebut, santri kelilinglah yang paling terekspos dan apalagi merupakan sebagai seorang pahlawan nasional, termasuk Kiai Abbas sendiri. Sejarah nasional Indonesia lebih senang menuliskan peristiwa-peristiwa besar ataupun tokoh-tokoh besar yang berpengaruh besar yang erat kaitannya dengan penguasa, entahah bersahabat atau bermusuhan atau juga tokoh yang ditulis oleh pencatat-pencatat dan juga pelancong yang dibawa oleh penguasa. Baru-baru ini mulai muncul suatu kesadaran sejarah yang bias dikatakan baru yaitu mengamati sejarah dari sudut yang kecil-kecil, baik tokoh maupun fenomena, seperti halnya santri keliling yang bias jadi merupakan sejarah dalam arti sesungguhnya, atau dapat dikatakan sebagai sejarah peradaban yang sesungguhnya.